Pesantren Garogol official website | Members area : Register | Sign in

Setiap orang memiliki penilaian yang subjektif

Saturday, November 19, 2011

Share this history on :

oleh : Mona Indriyani - Republika

Anindya Anugrah menunjuk To Kill a Mockingbird sebagai film yang sarat akan pelajaran tentang toleransi dan kemajemukan. Film keluaran 1963 ini mengangkat soal rasisme bersetting Amerika Serikat. “Saya tertarik menonton setelah membaca resensi singkatnya di situs review.lmdb.“

Film tersebut susah dicari di Indonesia. Anindya kemudian mengunduh To Kill a Mockingbird dari internet. Dia berkesempatan menyaksikan kisah heroik Atticus Finch awal tahun lalu.
“Bukan hanya bikin nangis, film ini membuat saya berpikir kembali tentang kesetaraan derajat dan martabat manusia,“ ujar mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung, ini.

Anindya memegang pesan film tersebut sebagai panduannya dalam pergaulan. Ia tidak membedakan teman berdasarkan agama, suku, atau latar belakang lainnya. “Menilai orang dari luarnya saja pun keliru, karena siapa tahu orang yang terlihat tidak menyenangkan sebenarnya memiliki hati sebaik malaikat,“ celetuknya.

Sementara itu, Mona Indriyani juga rajin mencari film-film inspirasional. Dia menemukan film karya sineas Indonesia sebagai salah satu di antaranya.
“Saya suka sekali Serdadu Kumbang.“

Serdadu Kumbang merupakan film dokumenter tentang orangorang di daerah terpencil. Mona belajar arti kehidupan dari situ.
“Saya sangat tersentuh ketika melihat adegan Ame, tokoh utama, berjuang mati-matian untuk lulus ujian sekolah.
Padahal, dia tengah bersedih karena kehilangan kakaknya yang meninggal akibat terjatuh dari pohon,“ urai Mona yang berusia 25 tahun.

Setelah menonton Serdadu Kumbang, Mona tergerak melakukan banyak hal untuk orang banyak. Dia terharu melihat kegigihan para tokoh di film tersebut. “Perjuangan anakanak di film itu juga membuat saya lebih bersemangat dan pantang menyerah.“

Mona belum menemukan film lain yang membawa dampak sebesar Serdadu Kumbang dalam kehidupannya. Ia berharap, sineas Indonesia membuat lebih banyak lagi tontonan yang mengusung pesan mendidik, yang menguatkan karakter generasi muda Indonesia. “Jangan tema horor melulu,“ cetus wanita kelahiran 30 Juli 1986 yang bekerja sebagai account executive ini.

Kisah Gina Dewi Anggraeni berbeda. Dia tak berhasil mengingat film lokal yang membekas di hati. Gina justru langsung teringat film Hollywood, Cast Away, yang diperankan oleh Tom Hanks. “Saya belajar tak menyerah dengan mengingat perjuangan tokoh utamanya untuk dapat bertahan hidup seorang diri di pulau yang tak berpenghuni selama bertahun-tahun,“ tutur wanita kelahiran 30 Juli 1986 ini.

Menonton Cast Away, Gina semakin memahami keinginan yang kuat yang diikuti langkah nyata akan membuat pintu-pintu kesempatan terbuka lebar. Keberhasilan bisa jadi hanya soal waktu. “Sekeras apa pun berdoa, tetapi jika tidak dibarengi dengan berusaha maka keinginannya tidak akan tercapai.“

Selain Cast Away, Gina tak terpikir film lain yang membawa perubahan dalam hidupnya. Ia berpendapat, film inspirasional belakangan makin sedikit.
“Sekarang kebanyakan adanya film imajinatif yang memberikan manusia khayalan-khayalan yang tinggi.“

Kesulitan mencari film yang menginspirasi tidak menghalangi hobi Gina menonton film. Ia mengarahkan pilihannya pada film yang didasari kisah nyata.
“Film Indonesia sayangnya kebanyakan horor, hantu-hantuan, atau berbau seks yang tidak penting.“

Kesulitan Mona dan Gina tidak dirasakan oleh Devy Octafiani. Di matanya, setiap film pasti akan menginspirasi dirinya. “Mungkin penilaian orang beda-beda ya,“ ujarnya.

Bagi Devi, tiap film pasti memiliki bagian yang menarik.
Sebut saja, Forrest Gump. Film yang dibintangi Tom Hanks ini berkisah tentang orang yang memiliki keterbelakangan mental. Gump kerap diolok-olok oleh temannya, hanya karena ia berbeda. Devi melihat Gump sebagai orang yang polos, tanpa pretensi, dan selalu melihat dunia dari kacamata terbalik.
“Gump seolah mengajarkan kita bahwa satu-satunya cara menghadapi hidup yang sering kali tidak adil dan berat adalah dengan tetap melangkah dan tidak menyerah.“ Multitafsir Film tak ubahnya buku pelajaran yang harus selalu dibaca. Sepenting itulah film bagi Adri Prasetyo. Profesinya sebagai dosen dan sutradara teater memang membuatnya merasa perlu meng-update pengetahuannya tentang film.
“Sesungguhnya tiap film memiliki pesan yang ingin disampaikan kepada penonton,“ komentar pria yang aktif di Teater Koma ini.

Film, lanjut Adri, merupakan karya seni yang relevan untuk dijadikan sumber inspirasi dan bahan pembelajaran. Meski begitu, tetap ada kebebasan untuk menafsirkan pesan dalam film. Itulah yang membuat pesan yang ditangkap penonton menjadi beragam. “Penilaian orang tentu subjektif, tapi jangan sampai benang merah dari film yang ditonton itu terlewat.“

Adri mengenang film Sunan Kalijaga (1984) yang dimainkan oleh aktor Dedi Mizwar sebagai film inspirasional. Film itu membantu menciptakan fondasi penting dalam kehidupan spiritualnya. Ia pun yakin, manusia membutuhkan pegangan hidup yang baik. “Semua masalah atau kebingungan umumnya terjadi karena orang tidak memiliki pedoman hidup,“ ujarnya.

c16 ed: reiny dwinanda

Thank you for visited me, Have a question ? Contact on : youremail@gmail.com.
Please leave your comment below. Thank you and hope you enjoyed...

0 comments:

Post a Comment

Dari Redaksi

NyantriTek